Kasus Kantong Darah Sampai Dimana ?
Keberanian Kejaksaan Negeri (Kejari) Lombok Tengah menetapkan para pejabat BLUD sebagai tersangka mendapat apresiasi dari banyak pihak. Namun ada yang menarik yang menjadi mempertanyaan, kasus Unit Transfusi Darah (UTD), khusunya kantong darah yang jumlahnya besar sudah sampai dimana?
DARWIS – LOMBOK TENGAH
Indikasi kerugian Negara dalam kasus BLUD mencapai Rp 1,7 miliar. Bagi sebagian orang, angka tersebut cukup fantastis. Namun bagi masyarakat yang mampu melihat persoalan ini lebih dalam, angka dugaan kerugian negara di RSUD Praya jauh lebih besar dari temuan saat ini.
Jika dirunut dari awal, kasus BLUD sebenarnya dimulai dari dugaan korupsi pengadaan darah di UTD. Dalam kasus tersebut diduga adanya tunggakan puluhan ribu kantong darah RSUD Praya ke UTD. Tidak main-main, kerugian negara dalam kasus ini ditaksir mencapai Rp2 miliar lebih.
Dari data yang berhasil dihimpun, tunggakan 10,250 kantong darah yang nilainya mencapai miliaran rupiah tersebut seharusnya masuk sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) sejak tahun 2017-2020. Ditambah jasa pelayanan yang harus diterima pegawai UTD sebesar Rp 70.450/kantong mencapai Rp 722 juta lebih.
Dalam keterangan persnya, Jumat 19 November 2021 lalu, Kepala Kejari Lombok Tengah Fadil Regan menegaskan, penyelidikan kasus Biaya Pengganti Pengolahan Darah (BPPD) Unit Transfusi Darah (UTD) dan secara umum dugaan penyimpangan di BLUD sudah naik tahap dari penyelidikan menjadi penyidikan. Hal itu setelah pihak kejaksaan menemukan dugaan peristiwa tindak pidana dan indikasi kerugian negara dalam kasus tersebut.
“Karena kita sudah menemukan peristiwa pidana dari kasus UTD BPPD ini, maka kasus tersebut kita naikan statusnya dari penyelidikan ke penyidikan. Kita juga sudah menemukan adanya indikasi berapa kerugian negara yang ditimbulkan dalam kasus ini,” ungkap Fadil Regan.
Dalam kesempatan tersebut, Regan menegaskan bahwa kedepan kasus ini dikembangkan tidak hanya di pusaran UTD melainkan lebih melebar kepada BLUD di RSUD Praya. Mengingat UTD ini merupakan salah satu penerimaan yang masuk ke BLUD. Menurutnya, dalam surat perintah tugas (sprint) penyelidikan memang ditemukan juga ada penyimpangan secara lebih menggelobal di BLUD tersebut.
Tapi anehnya, kasus pengadaan darah tersebut seakan hilang ditelan bumi. Lebih aneh lagi, fokus pengungkapan kasus di RSUD Praya, justru dialihkan ke anggaran makan minum pasien yang jumlahnya tidak seberapa.
Pertanyaan besar banyak muncul di masyarakat adalah, jika memang Kejari maupun Inspektorat ingin melakukan bersih bersih secara menyeluruh di RSUD Praya, kenapa hanya pada anggaran makan minum pasien yang “digaruk” sedangkan pengadaan darah yang jelas jelas jumlahnya lebih besar seakan terabaikan begitu saja.
Banyak pihak yang menduga, mandeknya penanganan kasus UTD lantaran dampaknya yang jauh lebih besar. Jika hal ini diungkap, selain kerugian yang lebih besar, juga akan menyeret tersangka lebih banyak. Ibarat permainan catur, kasus UTD tidak hanya akan menyeret pion seperti saat ini, perdana menteri bahkan raja pun berpotensi masuk bui.
Karena bagaimanapun juga, semua proses pengadaan darah di RSUD Praya, tidak bisa lepas dari tanggungjawab dewan pengawas dan kepala daerah saat itu. Kalaupun dana-dana tersebut masuk ke kantong pribadi Langkir, sebagian kalangan masih meragukannya.
Kuat dugaan aliran itu tidak murni untuk Langkir pribadi, karena posisinya yang hanya sebagai bawahan. Langkir diyakini tidak akan berani melangkahi para pimpinannya, apalagi dana miliaran rupiah, tentu bukan angka yang kecil.
Ketua LSM Sasaka NTB Lalu Ibnu Hajar akan melaporkan kasus UTD ke Kejaksaan Tinggi NTB. Untuk laporan jilid dua ini, bukti-bukti yang diperoleh sudah sangat lengkap. Pihaknya berharap nantinya Kejati NTB bisa mengungkap kasus tersebut secara terang benderang dan menyeret siapapun yang terlibat di dalamnya.
“Kami meyakini ada aktor intelektual dalam kasus UTD maupun BLUD. Jadi sebagai bagian dari masyarakat Lombok Tengah kami sangat berharap aparat penegak hukum bisa bertindak profesional,” pungkasnya, Rabu (05/10/2022).
Namun sayangnya, sebagian kalangan menganggap upaya pengembangan kasus korupsi di RSUD Praya semakin tidak jelas. Jangankan UTD, pengembangan kasus BLUD pun terkesan semakin tidak jelas. Bagaimana tidak, nyanyian dr. Langkir yang sebelumnya nyaring, sekarang tidak terdengar lagi.
Belum adanya perkembangan berarti dari pengembangan kasus BLUD membuat masyarakat mulai meragukan pengakuan mantan orang nomor satu di RSUD Praya tersebut. Beberapa di antaranya bahkan menganggap pernyataan Langkir terkait aliran dana ke sejumlah pejabat tinggi Lombok Tengah, hanya bualan semata.
Pegiat LSM Lombok Tengah M. Sahirudin mengatakan, jika memang aliran dana ke sejumlah pejabat tersebut benar, seharusnya dibuka dari sekarang. Namun yang justru sebaliknya. Dalam hal ini, pihak Langkir dinilai semakin tertutup.
Hal ini kata dia, mulai menimbulkan kecurigaan. Bahkan beberapa kalangan kata Sahirudin, menduga bahwa hal itu disebabkan lantaran adanya permufakatan terselubung antara pihak Langkir dengan oknum-oknum pejabat yang sebelumnya disebut ikut menikmati uang BLUD.
Untuk itu pihaknya mendorong Langkir dan para tersangka lainnya tidak main-main dalam persoalan ini. Karena jika tidak, pengakuan yang diungkapkan selama ini justeru akan menjadi bomerang bagi yang bersangkutan dan berpotensi menjadi persoalan baru di kemudian hari.
Sementara itu kuasa hukum dr. Langkir, Lalu Anton membantah jika kliennya mulai kendor. Menurutnya, tekad dr. Langkir untuk mengungkap aktor intelektual dalam kasus BLUD tidak pernah berubah.
Aliran dana ke sejumlah pejabat, akan tetap dibuktikan di persidangan.
“Tidak ada istilah kendor kalau dalam kamus pak Langkir. Tidak ada yang akan ditutupi. Apa yang beliau lihat, alami dan dengar akan dibuka,” kata Anton via handphone, Rabu (05/10/2022).
Adapun upaya hukum yang akan ditempuh dalam waktu dekat, Anton mengaku masih belum bisa memberikan penjelasan.
Dalam upaya menyajikan informasi yang berimbang, wartawan telah berupaya meminta penjelasan dari mantan Bupati Lombok Tengah maupun Wakil Bupati HM Nursiah selaku mantan dewan pengawas BLUD dan pihak lainnya, namun hasilnya nihil.
Begitu juga Kajari Lombok Tengah Fadil Regan masih belum memberikan keterangan soal kasus UTD khususnya persoalan kantong darah tersebut. (Bersambung)