Di balik kokohnya sebuah madrasah, selalu ada kisah panjang tentang orang-orang yang mewarnainya. Madrasah Aliyah Negeri 1 Lombok Timur telah melewati banyak era, dipimpin oleh tokoh-tokoh hebat, masing-masing meninggalkan jejak kuat pada zamannya. Namun, ada sesuatu yang berbeda ketika Guru Samoeden — Nurul Wathoni — hadir mengambil tongkat estafet.
Guru Samoeden tidak hanya melanjutkan tradisi, tetapi memilih untuk menulis babak baru: babak tentang perubahan yang tidak riuh, tetapi terasa dalam di setiap sudut madrasah. Pandangan penulis, tidak berlebihan jika perjalanannya disandingkan dengan kisah Satya Nadella ketika menggantikan Bill Gates di Microsoft pada tahun 2014.
Saat Nadella mengambil alih, dunia mempertanyakan, mampukah ia menjaga kejayaan raksasa teknologi itu? Tetapi Nadella memilih jalan yang berbeda: membangun Microsoft bukan dengan kekuasaan, melainkan dengan empati dan kolaborasi. Dalam sepuluh tahun, ia mengubah Microsoft menjadi perusahaan paling bernilai di dunia, membawa valuasi dari $381 miliar menjadi lebih dari $3 triliun.
Spirit itulah yang tercermin dalam cara Guru Samoeden memimpin MAN 1 Lombok Timur. Spirit transformasi (spirit of transformation) Guru Samoedin mengubah madrasah menjadi taman tempat anak-anak bisa bertumbuh. Kelas tidak lagi dibentuk sekadar berdasarkan usia atau formalitas, tetapi berdasarkan kompetensi dan kemampuan yang sebenarnya. Setiap siswa mendapatkan ruang untuk menemukan potensinya, bukan sekadar mengikuti arus.
Di luar ruang kelas, madrasah menjadi panggung. Ekstrakurikuler tak lagi sekadar kegiatan pengisi waktu, melainkan ekosistem pembinaan prestasi. Guru Samoeden mengundang mahasiswa berprestasi dan lulusan universitas ternama untuk menjadi pembina, membuka pintu bagi siswa untuk berani bermimpi lebih tinggi — bukan hanya di tingkat lokal, tetapi hingga ke Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Bukti kerja keras itu terlihat nyata. Lemari-lemari piala di madrasah penuh sesak hingga hampir tidak lagi memuat semua prestasi yang diraih. Penulis sendiri pernah berseloroh kepadanya. “Guru Samoeden, mungkin kita harus membangun tembok baru khusus untuk semua piala ini.”
Sebuah gurauan yang lahir dari rasa bangga. Tetapi yang paling membekas bukanlah jumlah piala. Yang paling berharga adalah spirit yang tumbuh di dada setiap anak madrasah. Mereka belajar bukan karena diwajibkan, tetapi karena mereka betah berada di sekolah. Mereka bertumbuh bukan karena dipaksa, tetapi karena merasa dihargai.
Bahkan saat badai pandemi Covid-19 melanda, ketika semua aturan memaksa anak-anak belajar dari rumah, siswa MAN Lombok Timur tetap diam-diam datang ke madrasah pada sore hari. Mereka hadir tanpa paksaan, hanya karena sekolah telah menjadi rumah kedua, tempat yang mereka rindukan, bukan sekadar institusi yang harus mereka datangi.
Jauh sebelum Kurikulum Merdeka diperkenalkan oleh Mas Menteri Nadiem Makarim, MAN Lombok Timur di tangan Guru Samoeden, telah lebih dulu menghidupi rohnya: kebebasan belajar, keberanian mengeksplorasi diri, dan tumbuh dalam suasana yang penuh empati.
Di tengah semua perubahan itu, Guru Samoeden tetap membumi. Dalam satu percakapan santai, beliau pernah berkata: “Membangun madrasah bukan sekadar menyusun tembok, tapi menyalakan semangat di setiap jiwa.” Sebuah kalimat sederhana, tetapi mungkin inilah yang menjelaskan segalanya tentang perjalanannya.
Hari ini, MAN 1 Lombok Timur tidak hanya berdiri di atas nama besar masa lalu. Ia melangkah ke masa depan dengan budaya baru: budaya yang menyalakan harapan, menumbuhkan keberanian, dan memupuk semangat untuk menjadi lebih baik dari hari ini. Namun, sebagaimana setiap kisah besar, setiap keberhasilan juga membawa satu tantangan baru: regenerasi. Sebab kepemimpinan sejati bukan hanya tentang membawa obor ke puncak,.tetapi tentang menyiapkan tangan-tangan baru untuk terus memanggulnya, melewati lembah, mendaki bukit, dan menyalakan cahaya di tempat-tempat yang lebih jauh.
Pasca Guru Samoeden, MAN 1 Lombok Timur akan menghadapi tantangan penting:.bagaimana memastikan transisi kepemimpinan tetap membawa spirit transformasi yang telah dibangun, bukan sekadar menjaga nama besar, tetapi melanjutkan kejayaan dan menumbuhkan babak-babak baru dalam perjalanan madrasah ini. Transisi bukan sekadar pergantian nama, namun ujian tentang seberapa kuat budaya yang telah ditanamkan, seberapa dalam nilai yang telah mengakar, dan seberapa besar harapan yang mampu melampaui figur.
Jika semangat belajar, budaya kolaborasi, dan cinta pada madrasah telah tumbuh di setiap jiwa, maka perubahan pemimpin bukan akhir sebuah cerita, melainkan awal bagi seribu cerita baru, cerita tentang generasi yang berani bermimpi, berani melangkah, dan berani menyalakan obor mereka sendiri. Mungkin, itulah warisan terbaik dari seorang Guru Samoeden: bukan sekadar prestasi yang bisa dihitung, tetapi cahaya yang terus menyala, jauh setelah sosoknya melangkah ke babak baru kehidupannya.
#Catatan: Tulisan ini sebagai refleksi peringatan Hari Pendidikan Nasional 2025.
#Penulis: Dr. Muhamad Ali, M.Si (Dosen Pascasarjana Universitas Hamzanwadi).