Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang sejak 72 tahun lalu menganut sistem demokrasi. Jika dilihat dari sejarahnya, sistem demokrasi masuk di Indonesia sejak colonial Belanda yang merupakan penjajah terlama bangsa ini, namun sistem demokrasi dinilai sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Hal ini terlihat pada saat Indonesia sempat merubah sistem politiknya menjadi republik demokrasi yang tidak dapat bertahan lama. Itulah yang mengakibatkan pada UUD 1995 pasal 1 menyatakan bahwa negara Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional dan negara hukum.
Berdasarkan fakta bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi, maka tentu merupakan hal yang wajib untuk mengadakan sebuah survei atau pendataan tentang seberapa bagus atau buruknya demokrasi di negara kita ini. Itulah yang melatarbelakangi adanya Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). IDI adalah indikator komposit yang menunjukkan tingkat perkembangan demokrasi di Indonesia.
Tingkat capaiannya diukur berdasarkan pelaksanaan dan perkembangan tiga aspek demokrasi, yaitu: Kebebasan Sipil (Civil Liberty), Hak-Hak Politik (Political Rights), dan Lembaga-Lembaga Demokrasi (Institution of Democracy). Metodologi penghitungan IDI menggunakan 4 sumber data, yaitu : (1) review surat kabar lokal, (2) review dokumen (Perda, Pergub, dan lain-lain), (3) Focus Group Discussion (FGD), dan (4) wawancara mendalam. Badan Pusat Statistik (BPS) adalah badan yang ada di balik IDI dan menjadi sebuah sebuah tolak ukur baku bagi tingkat demokrasi di Indonesia
Selain 3 aspek demokrasi di atas, ada sekitar 30 indikator yang dilihat dalam menentukan IDI, yang salah satunya adalah penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) yang merupakan “pesta” demokrasi 5 tahunan yang di gelar di Indonesia. Mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga pemilihan presiden merupakan rangkaian pesta demokrasi yang sudah sangat lekat dengan masyarkat Indonesia. Tentu tidak aneh jika penyelenggaraan PEMILU menjadi salah satu indicator penting untuk menentukan IDI.
Berbicara masalah Pemilu pada tahun 2018 ini, terdapat tujuh belas provinsi yang melakukan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Seperti disebutkan di atas Pilkada merupakan salah satu mekanisme dalam implementasi demokrasi di Indonesia, juga menjadi salah satu tolak ukur sejauh mana proses demokratisasi yang tengah berlangsung mampu menjamin pemenuhan atas hak-hak politik masyarakat. Jika proses pilkada tersebut dapat berjalan dengan baik, maka diharapkan Indonesia akan benar-benar menjadi negara demokrasi.
Mencermati proses demokratisasi di tingkat lokal tersebut dalam kerangka pembangunan politik, salah satu hal yang perlu dicermati adalah sejauh mana pilkada mampu menjadi proses pemenuhan hak-hak sipil warga negara. Berdasarkan data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada ketujuh belas provinsi tersebut, tahun 2016 nilai (skor) tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu sebesar 82,49. Nilai ini bahkan lebih tinggi dibandingkan IDI nasional yang mencapai 70,09. Sementara itu Nusa Tenggara Barat yang juga melakukan PILKADA pada tahun 2018 ini hanya menempati posisi ke 15 dengan nilai 65.41 yang masih berada di bawah IDI nasional.
Sementara itu pada koran Lombok Post edisi 20 Juli 2018 dikatakan bahwa NTB masuk sebagai salah satu 10 provinsi dengan IDI terendah se Indonesia. Hal ini tentunya masuk akal jika dilihat dari data IDI 17 provinsi yang melakukan PILKADA pada tahun ini. Kementrian Dalam Negeri mencatat sejak tahun 2009-2016 IDI NTB mengalami fluktasi. Pada tahun 2009 IDI NTB mencapai hanya mencapai 58.12 dan terus mengalami fluktasi dan mencatat nilai tertinggi pada tahun 2016 yaitu 65.41 dan masih masuk kedalam 10 provinsi dengan IDI terendah di Indonesia.
Beberapa indikator IDI yang masih mendapatkan nilai buruk di NTB antara lain, aturan tertulis yang membatasi kebebasan atau mengharuskan masyarakat menjalankan agamanya dengan skor 21,74. Partisipasi perempuan menjadi anggota DPRD NTB dengan skor 30,77. Demonstrasi atau mogok yang bersifat kekerasan dengan skor 0,00. Dan rekomendasi DPRD kepada eksekutiff dengan skor 28,57. Meski masih mencatatkan skor yang buruk dibeberapa indicator tersebut, namun secara umum PILKADA serentak 2018 yang dilakujkan di NTB berjalan dengan lancar. Tidak ada protes atau gugatan yang berarti. Hal ini tentu menjadi sebuah nilai plus bagi NTB karena berhasil melakukan pesta demokrasi dengan baik.
Di luar dari hal itu, Indonesia secara umum masih tertinggal jauh dari beberapa negara mengenai demokrasi di masyarakatnya. Dilihat dari data yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Units (The EIU) Indonesia mengalami penurunan skor signifikan dari peringkat ke-48 menjadi ke-68.Selain Indonesia, satu lagi negara demokrasi terbesar di Asia yang mengalami penurunan drastis, yaitu India. “Demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran setelah pemilihan gubernur di Jakarta,” ujar The EIU dalam keterangan tertulis yang diterima Medcom.id, Rabu 31 Januari 2018. Bahkan indeks demokrasi Indonesia berada di bawah Timor Leste yang di peringkat 43 dalam skala global. Sedangkan untuk skala regional, Timor Leste di peringkat tujuh. Seperti yang dikatakan The EIU, PEMILU atau PILKADA memiliki andil yang kuat dalam mempengaruhi angka IDI.
Strategi menuju IDI yang lebih baik harus segera dilakukan oleh NTB agar hasil dari pesta demokrasi yang dilakukan memiliki kualitas yang lebih baik pula. Beberapa strategi yang harus dilakukan yaitu dengan mengandeng semua pihak untuk terlibat dalam semua tahapan pesta demokrasi yang akan dilakukan. Baik sebagai peserta, pengawas maupu8n sebagai media sosialisasi bagi yang belum terjangkau. Dengan berkembangnya teknologi saat ini akan menyebabkan informasi terdistribusi dengan cepat, namun kecepatan distribusi informasi ini pun bisa berdampak negative jika tidak ada pembelajaran literasi yang baik.
Untuk itu, peran anak-anak muda pun harus dimaksimalkan. Kolaborasi bersama harus dilakukan sejak dini. Semakin banyak pihak yang terlibat akan berdampak kepada semakin baiknya hasil yang ingin dituju. Semoga kedepannya IDI provinsi NTB khususnya dan Indonesia pada umumnya dapat meningkat seiring dengan semakin pintar masyrakat dalam berdemokrasi, sesuai dengan kalimat dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
*Penulis merupakan seorang pemerhati politik dan demokrasi, tinggal di Lombok Timur